Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945
tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut
tahun Jepang (kōki) (17 Agustus
Shōwa 20 dalam
penanggalan Jepang itu sendiri), yang dibacakan oleh
Soekarno dengan didampingi oleh
Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56,
Jakarta Pusat.Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:"Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik" Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari
Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan
Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.
[1]Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara
de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan
Indonesia.
[2] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus
pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari
Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.
[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia
Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
[4] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.
[5]Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai "Soekarno" menggunakan ortografi Belanda) dan Mohammad Hatta,
[6] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.
[7][8]Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai
hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada 18 Juni 1946.
[9]