Konsonan sengau atau
konsonan nasal adalah
fonem yang direalisasikan melalui bantuan rongga hidung. Berbeda dari
konsonan yang dinasalisasi, konsonan sengau dapat diidentifikasi sebagai
konsonan rintang yang diartikulasikan dengan interaksi relaksasi langit-langit belakang mulut dan lidah dan membiarkan laju udara dari
paru-paru mengalir melalui rongga
hidung.
[1][2] Meski disebut nasal, rongga
mulut tetap memegang peran, yaitu sebagai
resonan atau ruang pendengung. Oleh karena itu, hidung bukanlah titik perhatian sentral dalam distingsi artikulasi, melainkan rintangan yang dibuat lidahlah yang menjadi pembeda.
[3]Konsonan sengau, dilihat dari sisi
akustika, bersifat
sonoran.
[2] Hal tersebut berarti laju udara dari paru-paru
diartikulasikan dengan aliran udara pada
saluran vokal yang terus-menerus dan tanpa turbulensi.Meskipun demikian, konsonan sengau memiliki sifat yang mirip seperti
konsonan letup yang, dilihat secara metode, berlawanan dengan konsonan sengau. Dualisme ini, yaitu dengan aliran terus-menerus yang menghasilkan dengung dan di saat yang bersamaan memiliki perintang yang menghalangi aliran udara sepenuhnya, berarti konsonan dengung memiliki sifat sonoran sekaligus konsonan rintang. Meski bersifat sonoran, dalam banyak bahasa oral, dalam
linguistik komparatif, konsonan sengau umumnya berevolusi dari atau berubah menjadi
konsonan letup.
[4][5]Contoh konsonan sengau dalam Bahasa Indonesia yaitu [m], [n], [ɲ] serta [ŋ] yang terdapat pada kata
me
nye
na
ngka
n. Konsonan sengau dapat ditemukan pada hampir seluruh bahasa oral manusia di dunia dan salah satu suara yang dipelajari pertama kali pada balita.
[6]