Hubungan Rusia dengan Ukraina (
bahasa Rusia: Российско-украинские отношения,
bahasa Ukraina: Українсько-російські відносини) dengan bentuk saat ini mulai dibangun pada tahun 1990-an setelah
pembubaran Uni Soviet. Dulunya kedua negara tersebut merupakan
anggota republik di Uni Soviet. Hubungan antara kedua negara tersebut telah ada sejak abad ke-17 dalam berbagai bentuk, hanya saja hubungan tersebut berakhir pada abad ke-18 setelah otonomi dari
Hetmanat Kazaki dihapuskan oleh
Yekaterina yang Agung dan wilayahnya digabungkan ke Kekaisaran Rusia. Hubungan tersebut pulih selama waktu yang singkat pada
Perang Dunia I setelah
Revolusi Oktober. Pada tahun 1920, Ukraina dikuasai oleh
Soviet Rusia dan hubungan antara kedua negara tersebut berubah dari hubungan internasional menjadi hubungan dalam negeri
Uni Soviet.
Pada 10 Februari 2015,
Verkhovna Rada (parlemen Ukraina) mengusulkan untuk menghentikan hubungan diplomatik dengan Rusia.
[1] Meskipun hal ini tidak terjadi, diplomat Ukraina Dmytro Kuleba meyatakan di awal April 2016 bahwa hubungan diplomatik tersebut memburuk hingga hampir terhenti.
[2]Rusia memiliki kedutaan besar di
Kiev dan
konsulat di
Kharkiv,
Lviv,
Odessa. Ukraina memiliki kedutaan di
Moskwa dan
konsulat di
Rostov na Donu,
Sankt Peterburg,
Yekaterinburg,
Tyumen dan
Vladivostok. Duta besar Ukrania untuk Rusia telah ditarik oleh pemerintah Ukraina sejak Maret 2014.
[3]Hubungan antara kedua negara tersebut sangatlah rumit dan sejak 1991 hubungan kedua negara tersebut sempat mengalami masa-masa ketegangan dan kecurigaan. Sebelum
Euromaidan, di bawah presiden Ukraina
Viktor Yanukovich (Februari 2010–Februari 2014), hubungan kedua negara cukup kooperatif, dengan berbagai perjanjian perdagangan telah disepakati.
[4][5][6][7] Setelah
Revolusi Ukraina 2014, yang berhasil melengserkan presiden pro-Rusia Yanukovych pada 21 Februari 2014, hubungan antara Rusia dan Ukraina memburuk dengan cepat: pemerintahan
Republik Otonomi Krimea saat itu langsung digantikan oleh pemerintahan yang menuntut penyatuan Krimea dengan Rusia dan demonstran menduduki atau berusaha menduduki gedung-gedung pemerintahan di
Donbas dan wilayah selatan Ukraina. Di bulan Maret 2014, Rusia
menganeksasi Krimea setelah diselenggarakannya
referendum yang dipertanyakan legalitasnya oleh masyarakat internasional. Sepanjang bulan Maret dan April 2014,
kerusuhan pro-Rusia menyebar dan "Republik Rakyat"
Donetsk dan
Luhansk yang pro-Rusia memproklamasikan dirinya untuk keluar dari negara Ukraina. Ukraina menghentikan seluruh kerjasama militer dan ekspor senjata kepada Rusia
[8] Baku tembak antara pemberontak pro-Rusia dan tentara bayaran Rusia melawan
Angkatan Bersenjata Ukraina di wilayah Ukraina Timur dimulai pada bulan April 2014. Pada tanggal 5 September 2014,
[9] perjanjian gencatan senjata sementara antara
pemerintah Ukraina dan perwakilan
Republik Rakyat Donetsk dan
Republik Rakyat Luhansk telah ditandatangani; perjanjian gencatan senjata tersebut berakhir setelah
pertempuran baru yang terjadi di bulan Januari 2015.
Perjanjian gencatan senjata baru telah disepakati pada pertengahan Februari 2015.Beberapa analis meyakini bahwa pemerintahan Rusia saat ini berusaha untuk mencegah agar tidak terjadi revolusi di Rusia seperti
Revolusi Oranye di Ukraina. Pandangan ini dapat menjelaskan kebijakan dalam negeri dan luar negeri Rusia.
[10] Banyak warga Ukraina dan masyarakat internasional yang meyakini bahwa Rusia menggunakan sumber daya energinya yang banyak untuk menggertak negara kecil yang bergantung akan pasokan energi dari Rusia dan Ukraina termasuk yang dirugikan akan kebijakan ekspor energi Rusia, tetapi pemerintah Rusia berpendapat jika masalah di Ukraina disebabkan karena intrik dari politikus Ukraina itu sendiri.
[11] Konflik di Ukraina dan dugaan Rusia mengambil peranan penting dalam konflik itu menyebabkan meningkatnya ketegangan pada hubungan antara Rusia dan kekuatan Barat utama, terutama hubungan antara Rusia dan AS, sehingga banyak pengamat menggambarkan hubungan tersebut seperti
Perang Dingin II.
[12][13][14]