Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar
Datuk Indomo, populer dengan
nama penanya Hamka (
bahasa Arab: عبد الملك كريم أمر الله; lahir di
Nagari Sungai Batang,
Tanjung Raya,
Kabupaten Agam,
Sumatra Barat,
17 Februari 1908 – meninggal di
Jakarta,
24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui
Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam
Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Universitas al-Azhar dan
Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara
Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk
Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam
daftar Pahlawan Nasional Indonesia.Dibayangi nama besar ayahnya
Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di
Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke
Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami
sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah
Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya
Di Bawah Lindungan Ka'bah dan
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.Selama
revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di
Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam
pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di
Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan
Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan
Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai
Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah
Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan
Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan
Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan
Tafsir Al-Azhar dalam keadaan sakit sebagai tahanan.Seiring peralihan kekuasaan ke
Soeharto, Hamka dibebaskan pada Mei 1966
[1]. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di
RRI dan
TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di
Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan
Majelis Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan
Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.